Menghancurkan Kebiasaan Menunda
Dalam 2½ Menit
Menunda
merupakan suatu aktifitas ketika anda membiarkan suatu pekerjaan
dilaksanakan/diselesaikan pada saat mendatang walaupun sebenarnya dapat
dilakukan saat ini. Kebiasaan menunda dapat terjadi pada berbagai aktifitas
mulai dari aktifitas yang sederhana seperti mandi hingga aktifitas yang lebih
besar dan kompleks seperti menyelesaikan suatu proyek yang telah terencana
sebelumnya.
Pertanyaan
selanjutnya adalah mengapa ada individu yang suka menunda? Salah satu prinsip
kerja pikiran adalah melakukan penghubungan (asosiasi) antara satu hal dengan
hal yang lain hingga terbentuklah jaringan informasi di dalam pikiran. Ketika
pikiran anda mengasosiasikan (mengenali) suatu pekerjaan dengan suatu rasa yang
tidak mengenakan, maka ketika tiba saatnya untuk melakukan pekerjaan tersebut,
pikiran anda segera memunculkan kembali berbagai pemikiran atau rasa yang tidak
mengenakan yang mencegah atau menghambat anda dari melakukan pekerjaan tersebut.
Berbagai rasa seperti; “kurang pas”, “berat”, “lelah”, “enggak gimana…. gitu” dan
masih banyak lagi yang sering dikemukan oleh klien saya yang memiliki kesulitan
dengan kebiasaan menunda.
Banyak orang
yang meyakini bahwa menunda merupakan kebiasaan buruk karena menyebabkan
berbagai kerugian. Beberapa kerugian yang disebabkan oleh menunda antara lain:
-
hilangnya berbagai kesempatan potensial yang dapat diraih
-
menurunkan kualitas hasil kerja akibat diselesaikan terburu-buru
-
burnout syndrome
-
menurunkan vitalitas fisik
Kebiasaan
menunda berpotensi menghilangkan berbagai kesempatan yang dapat anda raih.
Berpikir bahwa anda masih memiliki waktu lain untuk melakukan suatu pekerjaan
sehingga tidak melakukannya sesegera mungkin sama halnya anda mempertaruhkan
pekerjaan tersebut untuk suatu resiko yang tidak pasti. Berbagai hal dapat
muncul di masa depan tanpa anda duga sebelumnya. Walaupun anda dapat melakukan
perencanaan, tetap perencanaan bukanlah kenyataan. Berbagai hal yang tidak
disangka dapat muncul seperti urusan atau pekerjaan lain yang baru muncul
kemudian sehingga semakin menunda penyelesaian pekerjaan yang utama. Menurut
saya itulah sebabnya perencanaan diberi nama peRENCANAan karena belum menjadi dan bukan kenyataan J.
Untuk setiap
pekerjaan, cepat atau lambat, langsung atau tidak, pastilah memiliki tenggat
waktu, batas waktu penyelesaian. Tenggat waktu penyelesaian menentukan alokasi
waktu yang tersedia untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Suatu pekerjaan
menghasilkan suatu yang baik jika rasio antara kuantitas kerja (work load)
dan alokasi waktu (timing) tersedia secara proporsional. Ketika kedua
hal tersebut tidak proporsional dimana kuantitas pekerjaan lebih besar
dibandingkan alokasi waktu yang tersedia, maka anda mengorbankan hasil
pekerjaan anda. Penundaan membuat anda mengerjakan pekerjaan di menit-menit
terakhir sehingga mengurangi alokasi waktu yang tersedia untuk menyelesaikan
pekerjaan tersebut. Dengan alokasi waktu yang minim anda mencoba menyelesaikan
begitu banyak timbunan pekerjaan sama artinya dengan anda merelakan hasil
pekerjaan untuk sesuatu yang “apa adanya”. Di manakah posisi hasil pekerjaan
anda di tengah iklim persaingan saat ini?
Timbunan
pekerjaan yang begitu banyak juga beresiko menimbulkan “burnout syndrome”.
Burnout syndrome adalah sindroma yang ditemukan oleh Herbert J.
Freudenberger di tahun 1970-an. Sindroma ini muncul ketika seorang individu
melakukan suatu pekerjaan yang terlalu berat sehingga memunculkan kelelahan
fisik dan mental. Gejala yang muncul pada sindroma ini antara lain fluktuasi
mood, gangguan tidur, kesulitan konsentrasi, sakit punggung hingga gangguan
pencernaan. Penundaan membuat alokasi waktu yang tersedia sangat minim, tidak
seimbang dengan kuantitas pekerjaan sehingga menimbulkan beban kerja yang
tinggi. Hal ini tentunya berujung pada munculnya burnout syndrome.
Penundaan juga
dapat menurunkan kondisi fit fisik anda akibat kurangnya istirahat. Ketika anda
ingin menyelesaikan timbunan pekerjaan dengan tenggat waktu yang telah di depan
mata, terkadang anda rela mengorbankan waktu istirahat anda. Seorang klien saya
menceritakan sewaktu kuliah banyak temannya menunda menyelesaikan tugas kuliah
yang diberikan menjelang liburan. Mereka lebih memilih menikmati liburan terlebih
dahulu ketimbang menyelesaikan tugas yang diberikan. Ketika masa liburan
tersisa 3 hari, segera mereka mengerjakan tugas hingga larut malam. Setelahnya
mereka harus belajar untuk menghadapi ujian akhir. Seluruh kelelahan fisik yang
mereka alami berdampak pada kualitas hasil kerja dan nilai ujian yang kurang
memuaskan. Namun anehnya, mereka melakukan hal yang sama berulang kali di
setiap semester.
Bukan “Harus”
Tapi “Ingin”
Anda tentu
sering mendengar kata “harus” dan kata “ingin”.Pada uraian kali ini saya tidak
membahas “harus” atau “ingin” dari segi linguistik, melainkan lebih pada
konteks yang dimunculkan oleh kedua kata tersebut. Termasuk di dalamnya
berbagai pengalaman internal yang muncul pada diri individu dan efek yang
ditimbulkan pada perbuatannya.
Pikiran bawah
sadar manusia menangkap “harus” sebagai suatu hal yang sifatnya wajib.
Kewajiban umumnya diasosiasikan dengan kerja keras, kesulitan atau hal yang
melelahkan. Hal ini mengakibatkan ketika tiba saatnya untuk melakukan ke”harus”an
tersebut umumnya individu menghindar. Penghindaran ini diwujudkan dalam
berbagai bentuk mulai dari penundaan hingga tidak melakukan pekerjaan tersebut
sama sekali.
Sebenarnya jika
pikirkan lebih lanjut di setiap aktifitas, tentu anda dapat menemukan sisi yang
menyenangkan. Seperti setiap emosi, rasa senang yang anda rasakan dapat semakin
anda perbesar. Ketika anda berhasil melakukan hal tersebut, anda tentunya
segera dapat melakukan aktifitas tanpa terbebani, tanpa penundaan.
Oleh:
Yovan
P. Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar