Dua kisah nyata yang begitu menggugah dan dapat mengubah
hidup Anda.
Aku ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di
samping menjaga keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan
bantuan. Pekerjaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan tugas-tugasku
dengan semangat dan dedikasi tinggi. Tetapi, hidupku bagai selalu
diombang-ambingkan ombak. Aku bosan dengan rutinitas. Sampai suatu hari
terjadilah suatu peristiwa yang hingga kini tak pernah kulupakan.
Ketika itu, kami dengan seorang kawan sedang bertugas di
sebuah pos jalan. Kami asyik ngobrol, tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara
benturan yang amat keras. Kami mengalihkan pandangan. Ternyata, sebuah mobil
bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah berlawanan. Kami segera
berlari menuju tempat kejadian untuk menolong korban.
Kejadian yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah satu
mobil daIam kondisi sangat kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari mobil
lalu kami bujurkan di tanah. Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata
pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua
orang yang berada dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan
kalimat syahadat.
Ucapkanlah “Laailaaha Illallaah…Laailaaha Illallaah…”
perintah temanku.
Tetapi sungguh mengherankan, dari mulutnya malah meluncur
lagu-lagu. Keadaan itu membuatku merinding.Temanku tampaknya sudah biasa
menghadapi orang-orang yang sekarat…Kembali ia menuntun korban itu membaca
syahadat.
Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar.
Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi
dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang
bacaan syahadat. Tetapi… keduanya tetap terus saja melantunkan lagu.
Tak ada gunanya, suara lagunya semakin melemah dan lemah
sekali. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada
gera, keduanya telah meninggal dunia. Kami segera membawa mereka ke dalam
mobil. Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatah pun. Selama pejalanan hanya
ada kebisuan, hening.
Kesunyian pecah ketika temanku memulai bicara. Ia berbicara
tentang hakikat kematian dan su’ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata:
“Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk. Kesudahan hidup itu
biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia”. Ia
bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam
buku-buku Islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya
sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin.
Perjalanan ke rumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan
kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat
bahwa kami sedang membawa mayat. Tiba-tiba aku menjadi takut mati. Peristiwa
ini benar-benar memberi pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat kusyu’
sekali.
Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu. Aku
kembali pada kebiasaanku semula…Aku seperti tak pemah menyaksikan apa yang
menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu lalu. Tetapi sejak saat itu,
aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya lagu-lagu. Aku tak mau
tenggelam menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu ada kaitannya dengan
lagu yang pemah kudengar dari dua orang yang sedang sekarat dahulu.
Selang enam bulan dari peristiwa mengerikan itu, sebuah
kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku. Seseorang mengendarai
mobilnya dengan pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah terowongan
menuju kota. Ia turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang kempes. Ketika ia
berdiri di belakang mobil untuk menurunkan ban serep, tiba-tiba sebuah mobil
dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itu pun langsung
tersungkur seketika.
Aku dengan seorang kawan, -bukan yang menemaniku pada
peristiwa yang pertama- cepat-cepat menuju tempat kejadian. Dia kami bawa
dengan mobil dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung
mendapatpenanganan.
Dia masih muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang
ta’at menjalankan perintah agama. Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua
cukup panik, sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu.
Ketika kami membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang
keluar dari mulutnya.
Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan suara amat
lemah. “Subhanallah! ” dalam kondisi kritis seperti , ia masih sempat
melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran? Darah mengguyur seluruh pakaiannya;
tulang-tulangnya patah, bahkan ia hampir mati.
Dalam kondisi seperti itu, ia terus melantunkan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu. Selama hidup aku tak pernah mendengar
suara bacaan Al Quran seindah itu. Dalam batin aku bergumam sendirian: “Aku
akan menuntun membaca syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh temanku
terdahulu… apalagi aku Sudah punya pengalaman,” aku meyakinkan diriku sendiri.
Aku dan kawanku seperti kena hipnotis mendengarkan suara
bacaan Al-Qur’an yang merdu itu. Sekonyong-konyong tubuhku merinding menjalar dan
menyelusup ke setiap rongga. Tiba-tiba suara itu berhenti. Aku menoleh ke
belakang. Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat.
Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang. Kupegang tangannya, detak
jantungnya nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah meninggal dunia.
Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes,
kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku
kalau pemuda itu telah wafat. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya. Demikian
pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis, air mataku deras mengalir.
Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.
Sampai di rumah sakit, kepada orang-orang di sana kami
mengabarkan perihal kematian pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya
yang menakjubkan. Banyak orang yang terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak
sedikit yang meneteskan air mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar
kisahnya, segera menghampiri jenazah dan mencium keningnya.
Salah seorang petugas tumah sakit menghubungi rumah
almarhum. Kami ikut mengantarkan jenazah hingga ke rumah keluarganya. Salah
seorang saudaranya mengisahkan ketika kecelakaan, sebetulnya almarhum hendak
menjenguk neneknya di desa. Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari Senin.
Di sana, almarhum juga menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang
miskin. Ketika tejadi kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula,
buah-buahan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa
buku-buku agama dan kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan
kepada orang-orang yang ia santuni. Bahkan ia juga membawa permen untuk
dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil.
Bila ada yang mengeluhkan-padanya tentang kejenuhan dalam
pejalanan, ia menjawab dengan halus. “Justru saya memanfaatkan waktu
perjalananku dengan menghafal dan mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an, juga dengan
mendengarkan kaset-kaset pengajian, aku mengharap ridha Allah pada setiap
langkah kaki yang aku ayunkan,” kata almarhum.
Dan aku sungguh seakan-akan sedang menghadapi hari pertamaku
di dunia. Aku benar-benar bertaubat dari kebiasaan burukku. Mudah-mudahan Allah
mengampuni dosa-dosaku di masa lalu dan meneguhkanku untuk tetap mentaatinya,
memberiku kesudahan hidup yang baik (khusnul khatimah) serta menjadikan
kuburanku dan kuburan kaum muslimin sebagai taman-taman Surga. Amin.
(Azzamul Qaadim, hal 36-42)